Monday, September 1, 2008

untuk henri ismail

Gw menulis ini sambil mendengarkan Thom Yorke, The Eraser..

Lalu saya kemarin2 kembali memotret
Entahlah rasanya sulit menemukan benang merah dari karya2 sebelumnya
Kali ini gw jadi lebih kalem, menikmati setiap jepretan
Dulu..cie..dulu... gw lebih senang untuk ‘menghajar’ setiap subjeknya
Kenapa ya? Emang penting ya benang merah? Gw ngerasa pas sama ‘style’ gw, ga masalah lah, gw toh sudah menemukan diri gw dalam fotografi itu sendiri, ya walau ga jamin juga bakal SELAMANYA. Masih ada kemugkinan2 lain kan?
Mungkin masalah ini temporer, tapi gw pengen sharing aja
Ayo lihat foto2 baru gw! Have a nice show
Karya gw kali ini menceritakan tentang lingkungan kompleks gw tinggal. Komplek ini gersang, sepi dan senyap. Penduduknya jarang terlihat namun kita bisa melihat ada jejak manusia yang mereka tinggalkan, semacam petunjuk atau petanda adanya kehidupan.
Karya ini gw pengen mainin simbol dan clues. Semoga sih bisa berlanjut pada foto2 gw berikutnya. Hehe.
U are what u read.
Pengaruh Eco dan Barthes.
hihihi
Eh, tapi gw ga janji yaaa
Komen ya, apa masih ada benang merahnya dari karya terakhir kali kita bersua
Best regards

Kamu punya kepercayaan?

Entah itu sebuah nyanyian, kebiasaan ataupun sebotol heineken yang sedang kamu minum sekarang adalah kepercayaan kamu.

Kata seorang teman, kepercayaan saya saat ini sedang dalam masa cobaan, ya betul! Sesuatu yang saya percayai telah ada yang menggoyahkannnya. Entahlah tapi sampai detik ini saya pun masih memikirkan solusinya. Apakah saya masih tetap memegang kepercayaan (yang biasa saya sebut sebagai kebiasaan) tersebut atau saya pindah kepercayaan?

Kebiasaaan adalah sesuatu yang dengan saya sadari dilakukan atas dasar kemauan dan kehendak bebas saya sebagai manusia. Ini termasuk kategori hak.

Kata dosen saya jika kita berbicara mengenai hak pribadi, itu akan selalu berbenturan dengan hak orang lain juga.

Hak saya mendengarkan musik dengan volume keras,maka hak orang lain pula untuk mendapatkan ketenangan.

Percaya tidak kalau kehendak bebas manusia bisa mengalahkan dogma agama? Kalau saya belum yakin tapi saya (mungkin) sedang dalam proses mengamininya. Kenapa tidak? Agama bagi saya belum bisa menjadi suatu pegangan hidup. mereka belum menawarkan solusi terbaik bagi kehidupan saya.

Kepalaku sakit. Mataku penat. Napasku sesak. Hidupku belum bisa berjalan sesuai dengan keinginanku dan selalu berbenturan dengan orang lain. Aturan yang saya pegang selalu terlepas dari pegangan orang lain. Kepercayaan yang saya anut bertolak belakang dengan orang lain. Saya mungkin tidak dikategorikan sebagai masyarakat.

Seseorang meminta saya untuk berhenti minum. Alasannya satu: Agama. Tapi saya percaya itu hanya sebuah kebiasaan dan saya tidak begitu ambil pusing. Malah sekarang saya yang pusing. Kenapa masalah cetek itu bisa mengahantui saya.

Disinilah kecemasan saya dimulai.

fenomena

Fenomena yang terbaca sore ini adalah banyaknya manusia-manusia yang bergerombol, mereka mempunyai koloni masing-masing dan nampaknya tidak terlalu peduli apa yuang dilakukan koloni lain. Mereka biasanya menghabiskan waktunya dengan mengobrol, bersenda-gurau, minum-minum dan merokok. Berpakaian serupa dengan koloninya juga adalah identifikasi bahwa mereka satu koloni. Merka hanya nampak berbeda jika dibandingkan dengan koloni lain. Perbedaan yang lebih mencolok adalah satu koloni dengan yang lainnya tidak saling menyapa. Inikah kehidupan urban di kota Bandung?

Tersedianya tempat nongkrong juga menjadi pemicu munculnya gerombolan-gerombolan yang menghabiskan waktu lenggangnya demi sesuatu yang dinamakan persatuan visi dan misi. Walau kita juga tidak dapat menilai mereka tidak mempunyai sisi indivdualitas yang unik, berbeda dari manusia lain. Tapi pada kenyataannya mereka terlihat serupa.

Circle K. Franchise yang sudah memiliki 30 cabang di Bandung adalah salah satu tempat nongkrong favorit. Entah mengapa kehadirannya kini dianggap sebagai tempat nongkrong paling Hip. Padahal ketersediaanya tempat tidak lumayan lapang, minuman dan camilan, menjadi pilihan tersendiri untuk menghabiskan waktu. Berbeda dengan Circle K, Dago Plaza menyuguhkan tempat teduh dengan arena hotspot, dan terdapat juga Circle K, dan disinilah saya melihat pemandangan ini.;

Gerombolan ini berisi 7 orang dengan berpakaian serba hitam, merokok, beranggitakan 6 wanita dan satu pria. Terlihat lebih ‘seram’ dari koloni lain. Merokok, membawa minuman botol kosong. Lebih sering menggunakan bahasa sunda.

Enam orang pria, minum minuman beralkohol, kesamaan mereka terletak pada rambut yang dibelah pinggir dengan poni mirip para vokalis band-band emo.

Dengan duduk berhadapan empat orang ini terlihat lebih santai, bercelana pendek dan berkaus longgar bermerek –salah satu dari mereka memakai topi-

Satu gerombolan anak SMA –tentu saja mereka masih memakai seragam pada jam 5 sore ini- makan dan merokok,tawa mereka terdengar lebih menggelegar daripada koloni lain.Kesimpulan kunjungan sore ini ke Dago Plaza: mereka diidentifikasikan serupa oleh apa yang mereka pakai.

Seperti kata Roland Barthes “aku bekata melalui pakaianku”.

Liburan itu...

Menyenangkan –mungkin- tapi saat liburan datang apa ya kira-kira yang bakal saya lakukan? A lot!,mungkin diantaranya sepotong resolusi tahunan bakal saya lakukan saat ini. Dan entahlah ketika liburan datang kali ini, saya banyak teringat kutipan kalimat baik yang terlontar ataupun dilontarkan

“lo tuh sebenernya little whore”
“ok fine..”
“gw kayaknya naksir Le Chouette, sweet temptation, bla..bla..bla..”
“oh no..”

Kata hati yang sering dilupakan seiring padatnya aktivitas saya saat hari-hari biasa.Lalu wish list saya untuk liburan ini Cuma satu; menyelesaikan studi saya tentang Foto BW, yeah right! Resolusi ini sudah mengerak dalam panci busuk beberapa tahun silam, hanya sebuah kemalasanlah yang membuat studi ini terabaikan, ya mungkin liburan ini saya akan mencobanya.

Lalu dimulailah perjalanan ini menuju stasiun Kiaracondong, tepat jam 11 saya menanti kereta, dua jam berlaluDiantara busuknya waktu menunggu terdapat perjumpaan ini;

“Pu..tepu, ngapain lo”
“eh..lo ko ada disini, ngapain? Gw mau ke Jogja, pemeran”
Anjissssssssss
“iseng..”
“hah”
“oh ngga gw mau motret ko”
Teng..teng..teng..
“eh Pu, tu kayanya kereta gw”
“ok hati-hati ya, salam buat Mita ya”
Adeuuuh

Kereta yang ditunggu pun datang sebersit harapan untuk memotret kehidupan disekitarnya. Semoga perjalanan ini membawa sebuah kesan dan akhirnya terlampir dalam sebuh media. Foto BW.

Hai frnss...

Lalu kami berbincang, dengan tatapannya yang sedikit kesal dan tone suaranya terdengar geram frnss curhat; tentang fotografi.Menurutnya foto sudah tidak lagi menjadi sebuah media untuk menyampaikan sesuatu, kini dalam fotografi hanya ada imitasi dan tetek bengek teknis. Saya mengiyakan. Coba datang ke diskusi foto di penjuuuru bandung, tai babi kalo mereka tidak menyinggung hal ini. Iya, saya tahu semua pemula harus melewati fase itu, tapi jangan terlalu terus mendekam di fase tersebut, ya kecuali kalau mereka memang ingin membuat foto cantik, dan bukan sebuah dokumentasi ‘saya pernah berada disana’.

Frnss selalu menyelipkan kata imitasi dalam setiap alinea percakapan sore itu, saya bingung; ‘imitasi adalah ketika kamu tertarik hanya untuk memotret dan meniru teknis serta dimana foto itu dieksekusi’. Dahsyat! Kini saya tertarik untuk lebih memaknai imitasi dalam fotografi.

With the camera’s inception an imitation of life never before achieved was possible. More revolutionary than the fact itself, it might be practiced by anybody. Intricately part of the dawning age of technology, the photographic likeness gratified the viewer in a manner that lay too deep for words. Words, indeed, apperaread to be superfluous. Man, the image-maker, had contrived a machine for making images. The enthusiasm to take picture was surpassed by the desire to be taken.(Wright Morris, In Our Image)

Sepertinya foto berbicara kepada kita dengan kekuatan dan keberadaan sebuah petanda di dalamnya. Dia adalah media –si pembawa pesan- dan frnss juga bilang; ada berbagai macam cara untuk menyampaikan pesan; telepon, sms, fax, e-mail, dia hanya berharap ketika ingin menyampaikan pesan, pesan itu bisa diterima dengan jelas. Saya kembali mengiyakan, apa yang ingin kita sampaikan dalam sebuah foto adalah icon(s), dan bagaimana kita menyampaikannnya adalah rasa ketika kita mengambilnya. Bukan cara.

Rasa membuat kita lebih terbuka pada setiap keadaan, rasa membuat kita peka. Hahaha... ‘rasa mengalahkan rasionalitas’ itu kutipan Dhito dalam sms malam hari. Apalah namanya, sebuah cara dimaknakan ketika kita ingin mengambil keadaan dengan sesempurna dan secantik mungkin. Rasa dimaknai saat kita ingin menikmati suasana dan membawa pesan itu kembali dalam sebuah media dan semua orang dapat merasakan hal yang kita rasakan. sulit memang, karena setiap orang pun berhak memaknai apapun atas apa yang kita sajikan. Tapi hey, kita disini sedang merayakan disensus kan? Anyone?

Menurut Eco, Bermacam-ragamnya kode, konteks, dan situasi, memperlihatkan kepada kita, bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda, dan dengan referensi pada sistem-sistem konvensi yang berbeda.

Perkara teknis memang bukan hal yang mudah, namun kekuatan sebuah pesan yang disampaikan akan melebihi segalanya.