Monday, September 1, 2008

Hai frnss...

Lalu kami berbincang, dengan tatapannya yang sedikit kesal dan tone suaranya terdengar geram frnss curhat; tentang fotografi.Menurutnya foto sudah tidak lagi menjadi sebuah media untuk menyampaikan sesuatu, kini dalam fotografi hanya ada imitasi dan tetek bengek teknis. Saya mengiyakan. Coba datang ke diskusi foto di penjuuuru bandung, tai babi kalo mereka tidak menyinggung hal ini. Iya, saya tahu semua pemula harus melewati fase itu, tapi jangan terlalu terus mendekam di fase tersebut, ya kecuali kalau mereka memang ingin membuat foto cantik, dan bukan sebuah dokumentasi ‘saya pernah berada disana’.

Frnss selalu menyelipkan kata imitasi dalam setiap alinea percakapan sore itu, saya bingung; ‘imitasi adalah ketika kamu tertarik hanya untuk memotret dan meniru teknis serta dimana foto itu dieksekusi’. Dahsyat! Kini saya tertarik untuk lebih memaknai imitasi dalam fotografi.

With the camera’s inception an imitation of life never before achieved was possible. More revolutionary than the fact itself, it might be practiced by anybody. Intricately part of the dawning age of technology, the photographic likeness gratified the viewer in a manner that lay too deep for words. Words, indeed, apperaread to be superfluous. Man, the image-maker, had contrived a machine for making images. The enthusiasm to take picture was surpassed by the desire to be taken.(Wright Morris, In Our Image)

Sepertinya foto berbicara kepada kita dengan kekuatan dan keberadaan sebuah petanda di dalamnya. Dia adalah media –si pembawa pesan- dan frnss juga bilang; ada berbagai macam cara untuk menyampaikan pesan; telepon, sms, fax, e-mail, dia hanya berharap ketika ingin menyampaikan pesan, pesan itu bisa diterima dengan jelas. Saya kembali mengiyakan, apa yang ingin kita sampaikan dalam sebuah foto adalah icon(s), dan bagaimana kita menyampaikannnya adalah rasa ketika kita mengambilnya. Bukan cara.

Rasa membuat kita lebih terbuka pada setiap keadaan, rasa membuat kita peka. Hahaha... ‘rasa mengalahkan rasionalitas’ itu kutipan Dhito dalam sms malam hari. Apalah namanya, sebuah cara dimaknakan ketika kita ingin mengambil keadaan dengan sesempurna dan secantik mungkin. Rasa dimaknai saat kita ingin menikmati suasana dan membawa pesan itu kembali dalam sebuah media dan semua orang dapat merasakan hal yang kita rasakan. sulit memang, karena setiap orang pun berhak memaknai apapun atas apa yang kita sajikan. Tapi hey, kita disini sedang merayakan disensus kan? Anyone?

Menurut Eco, Bermacam-ragamnya kode, konteks, dan situasi, memperlihatkan kepada kita, bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda, dan dengan referensi pada sistem-sistem konvensi yang berbeda.

Perkara teknis memang bukan hal yang mudah, namun kekuatan sebuah pesan yang disampaikan akan melebihi segalanya.

No comments: